Sabtu, 19 Februari 2011

Karakteristik Pemikiran Islam

Muhammad al-Khaththath
Pemikiran Islam adalah pemikiran yang khas, lain daripada yang lain. Ini wajar, sebab pemikiran Islam berasal dari wahyu atau bersandarkan pada penjelasan wahyu, sedangkan pemikiran-pemikiran yang lain yang berkembang di antara manusia, baik itu berupa agama-agama non samawi, ideologi-ideologi politik dan ekonomi, maupun teori-teori sosial sekedar muncul dari kejeniusan berfikir manusia yang melahirkannya.
Namun perlu disadari, bahwa sekalipun pemikiran Islam berasal dari wahyu yang turun dari langit, pemikiran islam adalah diturunkan ke bumi untuk menjadi petunjuk bagi manusia di bumi. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya kami menurunkan kepadamu Al Kitab (al-Qur’an) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk, maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka.” (Qs. az-Zumar [39]: 41).
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (Qs. al-Baqarah [2]: 185).
Oleh karena itu, agar bisa memahami keberadaan pemikiran islam sebagai petunjuk amal perbuatan manusia, maka perlu dipahami karakteristik pemikiran Islam.
Pemikiran Islam mempunyai beberapa ciri khas, antara lain: bersifat komprrehensif (syumuliyah), luas, praktis (amally), dan manusiawi.
Karakter pertama: Bersifat Komperehensif
Pemikiran Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia, seperti politik, sosial kemasyarakatan, perekonomian, kebudayaan dan akhlak. Islam hadir dengan membawa aturan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya, dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain. Aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya tercakup dalam perkara akidah dan ibadah. Sedangkan aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri tercakup dalam hukum-hukum tentang makanan, pakaian, dan akhlak. Selebihnya adalah aturan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain, seperti perkara muamalah ekonomi dan sosial, sanksi-sanksi hukum bagi para pelanggar hukum (uqubat), politik ketatanegaraan, pertahanan dan keamanan, politik luar negeri dengan dakwah dan jihad fi sabilillah. Allah SWT berfirman:
“Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (yaitu al-Qur’an) sebagai penjelas segala sesuatu.” (Qs. an-Nahl [16]: 89).
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Kucukupkan untuk kalian nikmat-Ku.’ (Qs. al-Mâ’idah [5]: 3).
Setelah memahami kedua ayat di atas seorang muslim tidak boleh menyatakan bahwa, ada sebagian perbuatan manusia yang tidak ada status hukumnya dalam Islam. Semua persoalan dari sejak Islam turun ke bumi 15 abad yang lalu hingga hari kiamat, semua masalah pasti tercakup dalam perkara yang dipecahkan oleh Islam. Kalau sekilas saja kita membaca buku-buku fiqih, kita akan mendapatkan bahwa masalah yang dipecahkan oleh syariah itu tidak hanya masalah ritual belaka, tapi seluruh masalah kehidupan.
Karakter kedua: Bersifat Luas
Keluasan pemikiran Islam memungkinkan Para Ulama untuk melakukan istinbath (menggali) hukum-hukum syari’iy dari nash-nash syariat-syariat tentang perkara baru apapun jenisnya, baik perbuatan ataupun benda. Dalil-dalil syariat hadir dalam bentuk gaya bahasa yang mampu mencakup perkara apa saja hingga hari kiamat. Apabila ditanyakan kepada seorang muslim hingga saat ini, apa dalil syariat tentang kebolehan mengendarai roket, pesawat atau kapal selam, kemudian ia meneliti dalil-dalil syariat untuk mengetahui hukumnya, niscaya dia akan menemukannya dalam firman Allah:
“Dia menundukan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semua.” (Qs. al-Jâtsiyah [45]:13).
“Suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa kami mengangkut keturunan mereka dalam ahtera yang penuh muatan dan kami menciptakan bagi mereka kendaraan seperti bahtera itu.” (Qs. Yâsîn [36]: 41 – 42 ).
Jika ada yang menanyakan, apakah umat Islam boleh memiliki bom atom, maka dia akan menjumpai hukum syara tentang itu, dalam firman Allah:
“Siapkanlah untuk menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian.” (Qs. al-Anfâl [8]: 60).
Sebab, arah dari perintah Allah SWT dalam Qs. al-Anfâl [8]: 60 tersebut adalah untuk menakut-nakuti musuh (irhabul aduww). Kalau di masa lalu, adanya pasukan berkuda (al khail) adalah efektif untuk menakut-nakuti musuh, karena pasukan kavaleri yang ada pada waktu itu adalah pasukan berkuda. Di masa sekarang, pasukan kavaleri bisa berkendaraan panser atau yang lain. Dan untuk menakut-nakuti musuh di masa sekarang, bisa dilakukan dengan parade kapal induk, pesawat tempur supersonik yang dilengkapi dengan rudal berkepala nuklir, dan persenjataan canggih lainnya.
Karakter ketiga: Bersifat Praktis (‘Amaliy)
Hukum-hukum Islam hadir untuk diterapkan dan dilaksanakan ditengah-tengah kehidupan. Manusia tidak akan dibebani melebihi yang dia sanggupi. Allah berfirman:
“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya.” (Qs. al-Baqarah [2]: 286).
Pada sebagian besar ayat-ayat al-Quran, Allah swt telah mengaitkan amal dengan iman seperti firman Allah:
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh.” (Qs. al-Ashr [103]: 1 – 3).
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang mengerjakan amal shaleh, bahwa sungguh Dia akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi.” (Qs. an-Nûr [24]: 55).
Pemikiran Islam telah diterapkan di tengah-tengah manusia selama 13 abad, dalam naungan negara besar di dunia, Daulah Khilafah Islamiyah. Pemikiran-pemikiran islam yang dituangkan dalam hukum syariah yang sudah pernah diterapkan adalah: hukum syariah tentang pemerintahan (nizhamul hukm fil Islam), hukum syariah tentang ekonomi (nizhamul iqtishadi fil Islam), hukum syariah tentang hubungan sosial atau aturan pergaulan pria wanita (an nizhamul ijtima’i fil Islam), hukum-hukum syariah tentang kebijakan pendidikan (siyasah at ta’lim fil Islam), hukum-hukum syariah tentang politik luar negeri negara islam (siyasah kharijiyah lid daulah al Islamiyah).
Fakta-fakta sejarah tentang penerapan kelima aspek di atas tak bisa dibantah. Alkisah di dalam diskusi di Harvard University ada seorang cendekiawan Indonesia pernah mengatakan bahwa negara Khilafah itu sesungguhnya tidak ada. Maka seorang cendekiawan muslim dari Turki yang menjadi dosen di universitas bergengsi di AS itu bertanya: Lalu negara apa yang diumumkan pembubarannya oleh Kamal At Taturk pada tahun 1924 yang lalu itu?
Karakter Keempat: Bersifat Manusiawi
Islam menyeru kepada manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia, tanpa melihat lagi ras atau warna kulitnya. Firman Allah swt:
“Hai manusia beribadahlah kepada Tuhan kalian….” (Qs. al-Baqarah [2]: 21).
“Katakanlah: ‘Hai manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah untuk kalian semua’.” (Qs. al-A’râf [7]: 158).
“Katakanlah: ‘Hai manusia sesungguhnya kami telah menjadikan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan dan kami telah menjadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling kenal-mengenal’.” (Qs. al-Hujurât [49]: 13).
Rasulullah bersabda:
“Aku diutus untuk orang-orang yang berkulit merah maupun berkulit hitam.”
Orang-orang selain orang Arab pun telah beriman pada agama ini, seperti Persia, Romawi, Asia Tengah, India, Indonesia dan sebagainya. Demikianlah, Islam telah mengeluarkan mereka dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya hidayah, dari keterpurukan menuju kebangkitan.

http://hayatulislam.wordpress.com/2007/01/29/karakteristik-pemikiran-islam/

http://mbakdloh.wordpress.com/100-tokoh/#comment-982

100 TOKOH

Berikut ini adalah biografi “Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah”
yang ditulis oleh : Michael H. Hart, 1978
Dan Terjemahan oleh : H. Mahbub Djunaidi, 1982
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya
Jln. Kramat II, No. 31A
Jakarta Pusat
INGIN Baca sejarahnya ? Silahkan diklik.
Komentar Media Massa
01. Nabi Muhammad
02. Isaac Newton
03. Nabi Isa
04. Buddha
05. Kong Hu Cu
06. St. Paul
07. Ts’ai Lun
08. Johann Gutenberg
09. Christopher Columbus
10. Albert Einstein
11. Karl Marx
12. Louis Pasteur
13. Galileo Galilei
14. Aristoteles
15. Lenin
16. Nabi Musa
17. Charles Darwin
18. Shih Huang Ti
19. Augustus Caesar
20. Mao Tse-Tung
21. Jengis Khan
22. Euclid
23. Martin Luther
24. Nicolaus Copernicus
25. James Watt
26. Constantine Yang Agung
27. George Washington
28. Michael Faraday
29. James Clerk Maxwell
30. Orville Wright & Wilbur Wright
31. Antone Laurent Lavoisier
32. Sigmund Freud
33. Alexander Yang Agung
34. Napoleon Bonaparte
35. Adolf Hitler
36. William Shakespeare
37. Adam Smith
38. Thomas Edison
39. Antony Van Leeuwenhoek
40. Plato
41. Guglielmo Marconi
42. Ludwig Van Beethoven
43. Werner Heisenberg
44. Alexander Graham Bell
45. Alexander Fleming
46. Simon Bolivar
47. Oliver Cromwell
48. John Locke
49. Michelangelo
50. Pope Urban II
51. Umar Ibn Al-Khattab
52. Asoka
53. St. Augustine
54. Max Planck
55. John Calvin
56. William T.G.Morton
57. William Harvey
58. Antoine Henri Becquerel
59. Gregor Mendel
60. Joseph Lister
61. Nikolaus August Otto
62. Louis Daguerre
63. Joseph Stalin
64. Rene Descartes
65. Julius Caesar
66. Francisco Pizarro
67. Hernando Cortes
68. Ratu Isabella I
69. William Sang Penakluk
70. Thomas Jefferson
71. Jean-Jacques Rousseau
72. Edward Jenner
73. Wilhelm Conrad Rontgen
74. Johann Sebastian Bach
75. Lao Tse
76. Enrico Fermi
77. Thomas Malthus
78. Francis Bacon
79. Voltaire
80. John F. Kennedy
81. Gregory Pincus
82. Sui Wen Ti
83. Mani
84. Vasco Da Gama
85. Charlemagne
86. Cyrus Yang Agung
87. Leonhard Euler
88. Niccolo Machiavelli
89. Zoroaster
90. Menes
91. Peter Yang Agung
92. Meng-Tse (Mencius)
93. John Dalton
94. Homer
95. Ratu Elizabeth I
96. Justinian I
97. Johannes Kepler
98. Pablo Picasso
99. Mahavira
100. Neils Bohr

http://albahar.wordpress.com/2007/05/25/pemikiran-politik-islam-versus-pemikiran-islam-politik/

Pemikiran Politik Islam Versus Pemikiran Islam Politik

Judul buku : Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi hingga Masa Kini
Penulis : Antony Black
Judul asli : The History of Islamic Political Thought: from the Prophet to the Present
Penerjemah : Abdullah Ali dan Mariana Arietyawati
Penerbit : Serambi , Jakarta
Cetakan : I, Juli 2006
Tebal : 698 halaman
Sejarah Politik Islam
Islam boleh jadi merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik. Antony Black dalam buku ini menjabarkan bahwa pemikiran politik Islam terentang mulai masalah etika politik, filsafat politik, agama, hukum, hingga tata negara. Black juga mengungkapkan bahwa pemikiran politik Islam dipengaruhi oleh pemikiran politik Plato, Aristoteles, dan Iran kuno.
Tapi keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu bisa dikatakan bermuara pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Bolehlah kita sebut pemikiran para pemikir muslim yang menginginkan pemisahan Islam dan politik sebagai pemikiran politik Islam dan pemikiran yang menghendaki penyatuan Islam dan politik sebagai pemikiran Islam politik. Ketika sejak Revolusi Prancis agama Kristen relatif telah selesai membahas hubungan gereja dan negara–bahwa gereja harus terpisah dari negara—Islam masih berkutat pada persoalan yang satu ini, sejak zaman Nabi hingga zaman kini.
Pada zamannya, Nabi membentuk sebuah komunitas, yang diyakini bukan cuma komunitas agama, tapi juga komunitas politik. Nabi berhasil menyatukan berbagai komunitas kesukuan dalam Islam. Di Madinah, tempat hijrah Nabi, beliau berhasil menyatukan komunitas sosial, yakni kaum pemukim dan kaum pendatang. Lebih dari itu, di Madinah, Nabi juga berhasil mengatur kehidupan kaum muslim , Nasrani, serta Yahudi dalam komunitas “Negara Madinah” atau “masyarakat Madinah”.
Komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah inilah yang belakangan acap dirujuk oleh para pemikir muslim , baik yang liberal maupun yang fundamentalis, sebagai masyarakat Islam ideal. Pemikir liberal lebih suka menyebut komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah sebagai “masyarakat madani”, sedangkan mereka yang fundamentalis lebih nyaman menyebut “Negara Madinah”.
Di masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah (661-850 Masehi), pemikiran politik Islam didominasi oleh perdebatan tentang sistem pemerintah atau lebih tepatnya hubungan khalifah dan negara. Kedua dinasti Islam ini cenderung menganut sistem pemerintah atau sistem politik yang tidak memisahkan agama dan negara. Bahkan agama yang direpresentasikan oleh khalifah cenderung mensubordinasi negara atau kehidupan politik di kedua dinasti.
Tapi, sejak kira-kira 850 M, pemikiran dan praktek politik yang dominan di dunia muslim adalah yang memisahkan agama dan negara. Kekuasaan dibagi antara sultan yang mengatur urusan militer serta menegakkan hukum dan ketertiban dan ulama yang mengatur urusan sosial dan keluarga.
Sejak 1000-1200 M, para pemikir muslim, seperti Al- Mawardi , Nizam al-Mulk, Al- Gazali , Ibn Rusyd , serta Al-Razi, menawarkan pemikiran politik jalan tengah atau pemikiran politik keseimbangan. Di masa-masa tersebut, sultan dan ulama saling bekerja sama dan saling tergantung.
Namun, pada 1220-1500 M, ide penyatuan agama dan politik kembali mendominasi pemikiran para pemikir muslim . Pemikir muslim yang paling menonjol pada masa itu, yang menganjurkan pemerintahan berdasarkan syariat, adalah Ibn Taimiyah. Black sendiri dalam buku ini menyebut masa itu sebagai masa “syariat dan pedang”.
Puncak pemerintahan berdasarkan syariat berlangsung pada masa kerajaan-kerajaan modern yang meliputi Dinasti Utsmani , Dinasti Safawi , dan Dinasti Mogul. Tentu saja Dinasti Utsmani , yang berpusat di Turki, menjadi dinasti paling terkemuka. Dinasti ini disebut Khilafah Islamiyah . Namun, dinasti ini mengalami kemunduran dan dibubarkan pada 1924.
Kemunduran ini menandai mulai berpengaruhnya pemikiran politik Barat. Para pemikir yang diidentifikasi sebagai pemikir liberal bermunculan. Mereka antara lain Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh , yang menganut paham pemisahan agama dan politik. Berpijak pada kemajuan Barat, para pemikir muslim ini menawarkan pemikiran modernisme . Black menyebut masa ini sebagai abad modernisme .
Tapi kemajuan Barat dewasa ini memunculkan reaksi di kalangan pemikir Islam fundamentalis. Pemikir Islam fundamentalis paling terkemuka adalah tokoh Ikhwanul Muslim, Al- Maududi , serta Sayyid Qutb . Mereka menginginkan kehidupan masyarakat muslim dewasa ini mencontoh kehidupan di masa Nabi atau setidaknya masa kejayaan dinasti-dinasti di masa awal Islam. Itu berarti mereka menginginkan tidak adanya pemisahan agama dan politik.
Jika kita perhatikan materi pemikiran Islam sejak masa Nabi hingga masa kini seperti disajikan oleh Black dalam buku ini, nyaris tiada yang baru di situ. Tapi, bagaimanapun, pemetaan pemikiran Islam secara kronologis, sebagaimana yang dilakukan oleh Black, sangat membantu kita dalam memahami alur serta dinamika khazanah pemikiran politik dunia Islam. Melalui buku ini pula, kita tahu bahwa yang terjadi sesungguhnya adalah pertarungan antara pemikiran politik Islam dan pemikiran Islam politik.
Sumber Serambi Online

www.konspirasi.com

ImageSaat saya bertanya kepada intelektual muda Nahdatul Ulama, Zuhaeri Misrawi, “Ahmadiyah itu Islam atau bukan?” Maka, Misrawi yang lebih populer dengan panggilan Gus Mis ini hanya mengungkap bahwa Ahmadiyah adalah salah satu sekte dalam Islam yang muncul di Qadian dengan tokohnya Mirza Ghulam Ahmad.
Dalam konstelasi Islam, Ahmadiyah memang unik. Di beberapa negara, seperti di Arab dan Pakistan, pengikut Ahmadiyah dimusuhi secara terang-terangan. Bahkan, di Pakistan, Ahmadiyah harus “keluar” dari Islam dan membentuk agama baru yang bernama Ahmadi. Dengan demikian, jika kalangan Ahmadiyah di Pakistan hendak menunaikan ibadah haji, mereka harus keluar dulu dari negara tersebut lantaran pemerintah setempat hanya memberi izin naik haji kepada yang beragama Islam sesuai yang tercantum di paspor.
Namun, lantaran “dimusuhi” itulah, Ahmadiyah justru kerap menjadi perbincangan dan nama kelompok ini pun salah satu mashab yang paling dikenal di dunia selain Suni di Irak dan Syiah di Iran. Kenapa umat Islam marah kepada Ahmadiyah? Menurut mereka yang anti-Ahmadiyah, faham Ahmadiyah telah menyimpang dari ajaran pokok Islam.
Kalangan mainstream berpegang pada tafsir bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah penutup para Nabi. Maka, siapa saja yang berkata ada Nabi sesudahnya, dia murtad (keluar) dari Islam karena berarti telah mendustakan ayat-ayat Al Quran dan sunnah shahih yang sangat jelas menerangkan bahwa beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sebagai penutup para nabi.
Di antara inti persoalan ketegangan tersebut adalah QS : Al Ahzab Ayat 40 berbunyi: “Maa kaana muhamadun abaa ahadin min rijalikum walakin rasullalahi wa khotamannabiyyin”. Kalangan Islam mainstream menerjemahkan ayat ini sebagai berikut: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki dari kamu, tetapi dia adalah Rasullullah dan penutup Nabi-nabi. Dan, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Sementara Ahmadiyah menerjemahkannya, “Muhamad bukanlah bapak dari seorang laki-laki kamu, tetapi ia adalah seorang Rasul dan “Khatamanabiyyin”. “Khatamanabiyyin” oleh pengikut Ahmadiyah diterjemahkan sebagai Nabi paling mulia dan nabi penutup yang membawa syariat.
Friksi berikutnya adalah tentang Nabi Isa AS. Umat Islam meyakini Isa tidak wafat, melainkan diangkat oleh Allah untuk kemudian diturunkan kembali pada akhir zaman untuk memerangi musuh-musuh Islam. Qs: 4:157: dan karena ucapan mereka, “Sesungguhnya Kami telah membunuh Almasih, Isa putra Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi(yang mereka bunuh ialah) orang serupa dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang orang yang berselisih faham tentang (pembunuhan) Isa, benar benar dalam keraguan tentang yang di bunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang di bunuh itu, kecuali mengikuti perasangka belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.
Sementara itu Ahmadiyah meyakini, Isa atau Imam Mahdi yang dipersonifikasikan sebagai Mirza Ghulam Ahmad telah meninggal dan dikuburkan.
Tentu saja persoalan yang muncul tak sesederhana itu. Bahkan, dialog-dialog yang telah dilakukan di antara dua kelompok yang “bersengketa” itu pun hingga kini tak pernah menemukan jalan keluar yang melegakan semua pihak.
Secara demografis, pergerakan Jemaat Ahmadiyah telah menyebar ke beberapa negara. Ahmadiyah mengaku memiliki cabang di 174 negara yang tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia, dan Eropa. Dalam situs Ahmadiyah tertulis, saat ini jumlah anggota mereka di seluruh dunia lebih dari 150 juta orang.
Jemaat ini membangun proyek-proyek sosial, lembaga-lembaga pendidikan, pelayanan kesehatan, penerbitan literatur-literatur Islam, dan pembangunan masjid-masjid.
Gerakan ini menganjurkan perdamaian, toleransi, kasih, dan saling pengertian di antara para pengikut agama yang berbeda. Menurut Ahmadiyah, gerakan ini sebenar-benarnya percaya dan bertindak berdasarkan ajaran Al Quran: “Tidak ada paksaan dalam agama” (2:257) serta menolak kekerasan dan teror dalam bentuk apa pun untuk alasan apa pun.
Pergerakan ini menawarkan nilai-nilai Islami, falsafah, moral dan spiritual yang diperoleh dari Al Quran dan sunnah Nabi Suci Islam, Muhammad SAW. Beberapa orang Ahmadi, seperti almarhum Sir Muhammad Zafrullah Khan (Menteri Luar Negeri pertama dari Pakistan; Presiden Majelis Umum UNO yang ke-17; Presiden dan Hakim di Mahkamah Internasional di Hague) dan Dr Abdus Salam (peraih hadiah Nobel Fisika tahun 1979) telah dikenal karena prestasi dan jasa-jasanya oleh masyarakat dunia.
Ahmadiyah Qadian dan Lahore
Terdapat dua kelompok Ahmadiyah. Keduanya sama-sama memercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa al Masih yang telah dijanjikan Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, dua kelompok tersebut memiliki perbedaan prinsip:
1. Ahmadiyah Qadian, di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Bogor), merupakan kelompok yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid (pembaru) dan seorang nabi yang tidak membawa syariat baru.
2. Ahmadiyah Lahore, di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Yogyakarta), adalah kelompok yang secara umum tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya sekadar mujaddid dari ajaran Islam.
Selengkapnya, Ahmadiyah Lahore mempunyai keyakinan bahwa mereka:
1. Percaya pada semua akidah dan hukum yang tercantum dalam Al Quran dan hadis, serta percaya pada semua perkara agama yang telah disetujui para ulama salaf dan ahlus-sunnah wal-jama’ah dan yakin bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir. 2. Nabi Muhammad SAW adalah khatamun-nabiyyin. Sesudahnya tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru. 3. Sesudah Nabi Muhammad SAW, malaikat Jibril tidak akan membawa wahyu nubuwwat kepada siapa pun. 4. Apabila malaikat Jibril membawa wahyu nubuwwat (wahyu risalat) satu kata saja kepada seseorang, maka akan bertentangan dengan ayat: walâkin rasûlillâhi wa khâtamun-nabiyyîn (QS 33:40) dan berarti membuka pintu khatamun-nubuwwat. 5. Sesudah Nabi Muhammad SAW silsilah wahyu nubuwwat telah tertutup, tetapi silsilah wahyu walayat tetap terbuka agar iman dan akhlak umat tetap cerah dan segar. 6. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa di dalam umat ini tetap akan datang auliya Allah, para mujaddid dan para muhaddats, tetapi tidak akan datang nabi. 7. Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid abad 14 H. Dan, menurut hadis, mujaddid akan tetap ada. Dan kepercayaan kami bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi, tetapi berkedudukan sebagai mujaddid. 8. Percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad bukan bagian dari Rukun Islam dan Rukun Iman. Maka, orang yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad tidak bisa disebut kafir. 9. Seorang Muslim, apabila mengucapkan kalimah thayyibah, dia tidak boleh disebut kafir. Mungkin dia bisa salah, tetapi seseorang dengan sebab berbuat salah dan maksiat tidak bisa disebut kafir. 10. Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah pelayan dan pengemban misi Nabi Muhammad SAW.
Ahmadiyah di mata ulama Islam
Ahmadiyah adalah gerakan yang lahir pada tahun 1900 M, yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Inggris di India. Didirikan untuk menjauhkan kaum Muslim dari agama Islam dan dari kewajiban jihad dengan gambaran/bentuk khusus sehingga tidak lagi melakukan perlawanan terhadap penjajahan dengan nama Islam. Gerakan ini dibangun oleh Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani. Corong gerakan ini adalah Majalah Al-Adyan yang diterbitkan dalam bahasa Inggris.
Sementara Mirza Ghulam Ahmad hidup pada tahun 1835-1908 M. Dia dilahirkan di Desa Qadian, di wilayah Punjab, India, tahun 1835 M. Dia tumbuh dari keluarga yang terkenal suka khianat kepada agama dan negara. Begitulah dia tumbuh, mengabdi kepada penjajahan dan senantiasa menaatinya. Ketika dia mengangkat dirinya menjadi nabi, kaum Muslimin bergabung menyibukkan diri dengannya sehingga mengalihkan perhatian dari jihad melawan penjajahan Inggris. Oleh pengikutnya, dia dikenal sebagai orang yang suka menghasut/berbohong, banyak penyakit, dan pencandu narkotik.
Pemerintah Inggris banyak berbuat baik kepada mereka sehingga dia dan pengikutnya pun memperlihatkan loyalitas kepada Pemerintah Inggris.
Di antara yang melawan dakwah Mirza Ghulam Ahmad adalah Syaikh Abdul Wafa’, seorang pemimpin Jami’ah Ahlul Hadis di India. Beliau mendebat dan mematahkan hujjah Mirza Ghulam Ahmad, menyingkap keburukan yang disembunyikannya, kekufuran serta penyimpangan pengakuannya.
Ketika Mirza Ghulam Ahmad masih juga belum kembali kepada petunjuk kebenaran, Syaikh Abul Wafa’ mengajaknya ber-mubahalah (berdoa bersama) agar Allah mematikan siapa yang berdusta di antara mereka dan yang benar tetap hidup. Tidak lama setelah bermubahalah, Mirza Ghulam Ahmad menemui ajalnya tahun 1908 M.
Pada awalnya, Mirza Ghulam Ahmad berdakwah sebagaimana para dai Islam yang lain sehingga berkumpul di sekelilingnya orang-orang yang mendukungnya. Selanjutnya dia mengklaim bahwa dirinya adalah seorang mujaddid (pembaru). Pada tahap berikutnya dia mengklaim dirinya sebagai Mahdi Al-Muntazhar dan Masih Al-Maud. Lalu setelah itu mengaku sebagai nabi dan menyatakan bahwa kenabiannya lebih tinggi dan agung dari kenabian Nabi kita Muhammad SAW.
Dia mati meninggalkan lebih dari 50 buku, buletin, serta artikel hasil karyanya.
Di antara kitab terpenting yang dimilikinya berjudul Izalatul Auham, I’jaz Ahmadi, Barahin Ahmadiyah, Anwarul Islam, I’jazul Masih, At-Tabligh, dan Tajliat Ilahiah.
Menurut para penentang Ahmadiyah, permulaan ketenarannya dimulai dengan seolah-olah membela Islam. Setelah ia meninggalkan pekerjaan kantornya, ia mulai mempelajari buku-buku India Nasrani sebab pertentangan dan perdebatan pemikiran begitu santer terjadi antara kaum Muslimin, para pemuka Nasrani, dan Hindu. Kebanyakan kaum Muslimin sangat menghormati orang-orang yang menjadi wakil Islam dalam perdebatan tersebut. Segala fasilitas duniawi pun diberikan kepadanya. Ghulam Ahmad berfikir bahwa pekerjaan itu sangat sederhana dan mudah, mampu mendatangkan materi lebih banyak dari pendapatannya saat bekerja di kantor.
Untuk mewujudkan gagasan yang terlintas dalam benaknya, pertama kali yang ia lakukan ialah menyebarkan sebuah pengumuman yang menentang agama Hindu. Berikutnya, ia menulis beberapa artikel di beberapa media massa untuk mematahkan agama Hindu dan Nasrani. Kaum Muslimin pun akhirnya memberikan perhatian kepadanya. Itu terjadi pada tahun 1877-1878 M.
Pada gilirannya, ia mengumumkan telah memulai proyek penulisan buku sebanyak lima puluh jilid, berisi bantahan terhadap lontaran-lontaran syubhat yang dilontarkan oleh kaum kuffar terhadap Islam. Oleh karena itu, ia mengharapkan kaum Muslimin mendukung proyek ini secara material. Sebagian besar kaum Muslimin pun tertipu dengan pernyataannya yang palsu, bahwa ia akan mencetak kitab yang berjumlah lima puluh jilid.
Sejak itu pula, ia menceritakan beberapa karomah (hal-hal luar biasa) dan kusyufat tipuan yang ia alami. Dengan demikian, orang awam menilainya sebagai wali Allah, tidak hanya sebagai orang yang berilmu. Orang-orang pun bersegera mengirimkan uang-uang mereka yang begitu besar kepadanya guna mencetak kitab yang dimaksud [Majmu’ah I’lanat Ghulam Al-Qadiyani, 1/25].
Volume pertama buku yang ia janjikan terbit tahun 1880 M, dengan judul Barahin Ahmadiyah. Buku ini sarat dengan propaganda dan penonjolan karakter penulisnya, cerita tentang alam gaib yang berhasil ia ketahui, juga berisi karomah dan kusyufatnya.

kompas

 http://konspirasi.com/nasional/ahmadiyah-islam-atau-bukan/

Jumat, 18 Februari 2011

Dengan Dalih “Kajian Ilmiah”, Cendikiawan-cendikiawan Muslim Ramai Merendahkan Kedudukan Rasululloh Saw

OPINI | 06 February 2011 | 09:08112  Nihil


Oleh
Ustadz Abu Minhal
Kondisi sulit menyelimuti umat Islam dalam kurun dua abad terakhir. Terutama dengan munculnya konspirasi dari musuh-musuh Islam, misalnya upaya memberangus Khilafah Islamiyyah, cengkeraman Barat (Nashara) terhadap negeri-negeri Islam secara militer, politik maupun ideologi, dan dengan kegigihannya, mereka juga bermaksud memporak-porandakan keutuhan masyarakat muslim melalui putra-putri Islam sendiri yang telah dicekoki konsep-konsep kufur dan atheisme. Upaya ini kian memperburuk keberadaan kaum Muslimin. Apalagi ditambah dengan berkembangnya arus kebodohan, bid’ah dan khurafat di tengah kaum Muslimin.
Salah satu dampak buruk dari konspirasi itu, kemudian muncul berbagai pemikiran baru yang secara langsung maupun tidak telah bersinggungan dengan ‘aqidah Islamiyyah. Misalnya dengan berkembangnya rasionalisme, sekulerisme, liberalisme, dan sosialisme. Pemikiran-pemikiran ini telah merasuki otak dan pola pikir sebagian kaum Muslimin.
MENGAPA RASIONALISME BERBAHAYA BAGI KAUM MUSLIMIN?
Rasionalisme, sebuah cara berpikir yang mengagungkan kemampuan akal, dan memposisikan akal lebih tinggi dari agama (wahyu). Rasionalisme juga memberikan wewenang untuk membicarakan alam ghaib. Nash-nash syar’i yang berasal dari Allah l dan Rasul-Nya dikalahkan. Akal menjadi segala-galanya dalam menentukan dan menerima suatu hukum. Demikian pemikiran yang diusung oleh paham yang dikenal dengan istilah ‘aqlaniyyun. Keburukan konsep mereka tersembunyi di balik gelar megah, yaitu “Cendikiawan Muslim”. [1]
Konsep berpikir Mu`tazilah, yang mengutamakan akal di atas wahyu nampak kuat keberadaannya mempengaruhi kalangan akademisi, maupun tokoh-tokoh yang dianggap sebagai “cendikiawan muslim”. Tokoh-tokoh tersebut bisa kita sebutkan, misalnya: Dr. Thâha Husain, Muhammad Farid Wajdi, Dr. Ahmad Zaki Abu Syâdi, Salâmah Musa, Syaikh ‘Ali ‘Abdur-Razzâq, Qâsim Amin, Dr. Muhammad Husain Haikal, Dr. Ahmad Amin dan putranya Husain Ahmad Amin, Syaikh Mahmud Abu Rayyah, Muhammad Ahmad Khalfullah, Khalid Muhammad Khalid.
Tokoh-tokoh yang semuanya berasal dari Mesir ini, merujuk pemikiran Syaikh Jamaluddin al-Afghani dan Syaikh Muhammad ‘Abduh dari perguruan rasionalisnya (madrasah ‘aqliyyah). Arus pemikiran ini menyebar ke banyak negara, tidak terkecuali di Indonesia. Banyak karya-karya mereka yang telah dialihbahasakan ke bahasa Indonesia. Dan telah bermunculan pula cendikiawan-cendikiawan model mereka di negeri ini.
GELAR-GELAR YANG DISEMATKAN MEREKA KEPADA RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Pada topik ini, hanya akan ditampilkan seputar pandangan kaum Rasionalis terhadap Nabi Agung Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengklaim diri sebagai kaum Rasionalis Muslim. Konon mereka pun telah melakukan pengkajian secara menyeluruh peri kehidupan dan perilaku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenabiannya, serta seluruh ajaran yang dibawa oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saking banyaknya hasil kajian empirik mereka, hingga membutuhkan sebuah perpustakaan yang besar untuk menampungnya.
Banyak sisi kehidupan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi bahan “penelitian” mereka, sebelum nubuwwah maupun pasca kenabian. Dari kajian tersebut, mereka menyimpulkan, bahwa Muhammad adalah seorang manusia jenius lagi istimewa (?!), tidak ada hubungan antara beliau dengan kekuatan ghaib di luar jasad beliau, baik Malaikat Jibril secara khusus maupun lainnya.
Dari pemikiran ini, mereka kemudian mengaitkan segala yang muncul dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berbentuk ilmiah dan amaliah, termasuk juga wahyu yang turun kepada beliau, semata-mata hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang jenius, unggul, reformis sosial yang agung, politisi yang piawai, pendobrak tatanan, pimpinan kudeta kebebasan, dan seterusnya. Suatu gelaran nama-nama yang di mata sebagian orang sekarang ini sebagai gelar-gelar yang “populis”, “ngetrend” dan “mentereng”. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Justru julukan-julukan tersebut telah menjauhkan beliau n dari nilai-nilai wahyu luhur, nubuwwah, dan keimanan yang tidak bisa dipisahkan dari diri beliau.
Bahkan kemudian, gelar-gelar jahiliyyah pun mereka sematkan pada diri beliau. Seperti: nabiyul-istirakiyyah (nabi sosialisme), rasûlul-hurriyyah (rasul kebebasan), nabiyyul-’arûbah (nabi bangsa Arab), râidul-Qaumiyyatil ‘Arabiyyah (Panglima Kebangkitan Arab), dan sebutan-sebutan lainnya yang tidak pantas, atau mengenyampingkan tugas Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam ke dalam dimensi kehidupan yang lebih sempit.
Julukan-julukan di atas tidak mengherankan. Sebab, definisi kenabian yang mereka pegang, sangat jelas memisahkan pribadi para nabi dari keterkaitan mereka dengan wahyu ilahi. Sebut saja, apa yang disampaikan Syaikh Muhammad ‘Abduh, yang merupakan tokoh penting madrasah ‘aqlaniyyin. Syaikh Muhammad ‘Abduh berkata:
إِنْسَانٌ فُطِرَ عَلَى الْحَقِّ عِلْماً وَعَمَلاً بِحَيْثُ لاَ يَعْلَمُ إِلاَّ حَقَّا وَلاَ يَعْمَلُ إِلاَّ حَقَّا عَلَى مُقْتَضَى الْحِكْمَةِ
“(Manusia yang tercipta di atas fitrah al-haq dalam ilmu dan amaliah, dimana ia tidak mengenal kecuali hanya kebenaran saja, dan tidak berbuat kecuali kebenaran semata berdasarkan nilai-nilai hikmah)”.
Dr. Nashir al-’Aql menyampaikan hasil analisanya berkaitan dengan definisi di atas. Menurut beliau, definisi tersebut menunjukkan adanya unsur tasâhul (menggampangkan) dan tawassu’ (kelonggaran) dalam memberi makna nubuwah. Sebab, definisi itu bisa berlaku pada seorang nabi dan lainnya. Pasalnya anak Adam tercipta dalam keadaan fitrah. Terkadang Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberikan taufik kepada kalangan shalihin, hingga mereka tidak berbuat kecuali tindakan yang benar.
Konsekwensi dari definisi kaum Rasionalis di atas berarti tidak menegaskan isthifâ (pilihan) dari Allah terhadap para nabi. Sehingga para tokoh Sufi dan Syiah pun bisa masuk ke dalamnya. Begitu pula meniadakan keberadaan wahyu yang merupakan unsur tak terpisahkan dengan nubuwwah. Karenanya, para ulama mendefiniskan nabi sebagai orang yang diberi wahyu. Bila diperintah untuk menyampaikan maka ia adalah Rasul.[2]
YANG DILUPAKAN OLEH KAUM RASIONALIS
Pada dasarnya, bahan kajian mereka sangat parsial, timpang dan tidak komprehensif (tidak menyeluruh) sebagaimana klaim mereka. Obyek kajian mereka terbatas hanya berkutat pada [Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu]. Mereka melupakan, atau pura-pura tidak mengetahui, sehingga mengesampingkan sisi lain yang menjadi keistimewaan Rasulullah n atas orang lain, yang sebenarnya telah terkandung dalam lanjutan ayat di atas. Yakni, [yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah Yang Esa"] –al-Kahfi/18 ayat 110.
Tinjauan “ilmiah” mereka hanya menitikberatkan pada aspek kejeniusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tujuannya, tidak lain, ialah untuk menisbatkan segala perbuatan dan ucapan beliau kepada tingkat kejeniusan beliau yang sangat fantastis, dan bukan dalam bimbingan wahyu. Karena menurut mereka, dimensi wahyu, kenabian, dan risalah adalah perkara-perkara ghaib yang tidak bisa diuji berdasarkan “riset ilmiah”. Menurut penuturan mereka, hal-hal demikian tidak bernilai dalam perspektif ilmu modern, karena hanya membawa kepada pemikiran khurafat dan dongeng fiktif belaka. Sedangkan kejeniusan dan intelegensia merupakan sifat manusiawi, sehingga, menurut mereka ilmu modern mampu mencernanya dan menghormatinya. Dan kaum Muslimin pun juga dapat membuktikannya melalui penelitian empirik, kata mereka.
Semua alasan yang begitu jelas dipaksakan ini, tiada lain menunjukkan indikasi inhizamiyyah (mental rendah diri) di hadapan peradaban Barat yang mengedepankan hasil karya akal, keimanan yang lemah kepada Allah dan risalah-risalah-Nya, serta bentuk kebodohan terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.[3]
Bukti paling jelas tentang hal itu, bahwa tulisan-tulisan mereka kebanyakan hanya menuliskan nama Muhammad, tanpa mengusung gelar nubuwwah maupun risalah (yaitu Nabi atau Rasulullah Muhammad), yang merupakan keistimewaan Rasulullah n yang terpenting. Jangan tanyakan tentang penyebutan shalawat dan salam bagi beliau. Hingga terkadang tersimpulkan, jika mereka malu atau – angkuh – untuk melantunkan shalawat dan salam bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagai misal, dapat dilihat di buku-buku karya mereka, antara lain: ‘Abqariyyatu Muhammad (’Abbâs Mahmud Aqqâd), Insaniyyatu Muhammad (Khâlid Muhammad Khâlid), Hayâtu Muhammad (a- Haikal), Muhammad wal-Quwal Mudhaddah (Muhammad Ahmad Khalfullah), Muhammad (Mushthafa Mahmud), Muhammad (Taufiq al-Hakim). Tindakan ini mereka lakukan dengan mengatasnamakan kajian ilmiah dan modernisasi pikiran yang telah dicapai manusia. Bentuk “kemajuan” yang mengagung-agungkan ‘abqariyyah (kejeniusan). Sebagian malah mendudukkan antara kejeniusan dan nubuwwah secara berdampingan.
APA KOMENTAR MEREKA TENTANG RASULULLAH MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM ?
Berikut ini beberapa komentar tentang Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang termaktub di karya-karya kaum Rasionalis.
Muhammad Farid Wajdi berkata tentang sirah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Sungguh, bila kita berjalan di atas kaidah ilmu dalam menetapkan peristiwa-peristiwa dan kita kaitkan dengan sebab-sebabnya yang paling dekat, maka akan terbentuk sebuah kejadian besar yang membuat ilmu pengetahuan terpukau keheranan, tanpa mampu menjelaskan mengapa hal itu bisa muncul dari seorang diri manusia. Dan selanjutnya, dengan terpaksa mengakui bahwa Muhammad benar-benar seorang jenius dari jenis yang istimewa, yang mengalahkan seluruh kalangan jenius. Ini adalah kemenangan besar buat orang-orang yang mengakui kenabiannya. Pasalnya, pengertian jenius menurut pandangan ilmu pengetahuan berbeda dengan makna yang dimengerti oleh orang-orang awam. Ia bermakna suatu kemampuan yang terdapat pada jiwa orang jenius, berupa ilmu, tindakan tanpa diiringi oleh pengerahan kemampuan untuk meraihnya. Ia datang tiba-tiba tanpa ada yang pernah mendahuluinya, tidak ada padanan dan tidak bisa ditiru …”.[4]
Ambil contoh juga pada tulisan al-’Aqqâd dalam ‘Abqariyatu Muhammad. Untuk melihat lebih jelas betapa besarnya perhatian mereka terhadap aspek kejeniusan dibandingkan dengan kenabian, wahyu maupun keimanan. Dapat dilihat dari daftar isi kitab tersebut, yang menuliskan: “Muqaddimah, tanda-tanda kelahirannya, sisi keunggulan wahyu, kejeniusan Muhammad dalam politik, kejeniusan Muhammad dalam mengatur strategi perang, kejeniusan menejemen Muhammad, Muhamamd yang jujur, Muhammad seorang pimpinan negara, Muhammad sebagai suami, Muhammad sebagai ayah, Muhammad sebagai pimpinan, Muhammad sebagai ahli ibadah, Muhammad sebagai seorang lelaki, Muhammad dalam perjalanan sejarah”.
Silahkan pembaca menilai, dari kerangka isi kitab tersebut, manakah yang menunjukkan kerasulan, kenabian, keimanan, hidayah, agama dan Islam? Apakah ada perbedaan antara Rasulullah Muhammad dengan seluruh orang-orang jenius lainnya yang tidak punya agama? Bahkan sebagian merupakan orang-orang yang zhalim dan diktator? Sub judul sisi “keunggulan wahyu” pun tidak bisa menjawab pertanyaan di atas.[5]
Khâlid Muhammad Khâlid pun menegaskan komentar yang serupa, bahwa Muhammad adalah manusia biasa. Seandainya bukan rasul, ia sudah masuk dalam kategori seorang rasul. Aspek risalah dan kenabian betul-betul dikesampingkan di sini.
Khâlid Muhammad Khâlid berkata: “Seandainya Muhammad bukan seorang rasul, niscaya ia akan menjadi manusia yang berada di tingkatan rasul. Seandainya ia tidak menerima perintah dari Rabbnya [Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu] -al-Maidah/5 ayat 67- maka ia akan menerima perintah dari dirinya sendiri: “Wahai manusia, kerjakanlah apa yang berdenyut pada hati nuranimu”. Jadi, sumber keagungan, pertama kali datang dari sisi kemanusiaan Muhammad, dari jalan yang membentuk pribadinya.[6]
Subhanallah! Dengan ungkapannya ini, Khâlid Muhammad Khâlid telah menghilangkan nilai-nilai kenabian, risalah dan pilihan Allah. Dia menyangka, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membutuhkan risalah dari Allah dan perintah dari-Nya. Pasalnya, bila Allah tidak menetapkan perintah, niscaya hati nuraninyalah yang akan mengambil alih. Andai Allah tidak mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasul, niscaya kematangan akalnya akan mengantarkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke tingkat kenabian dan risalah. Ucapan Khalid bahwa keagunganan Muhammad murni bersumber dari pribadinya, juga merupakan pernyataan yang tidak tepat. Karena, keagungan yang beliau peroleh tidak lain bersumberkan dari nubuwwah dan risalah, serta pertolongan dan dukungan secara langsung dari Allah, lebih besar dari apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terima sebelum kenabian.[7]
Mereka itu, paling tidak, meski tidak berani mengingkari nubuwwah dan risalah secara vulgar, akan tetapi telah memberi perhatian yang sangat berlebihan terhadap sisi kejeniusan dan kemanusiaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam “penelitian ilmiah” mereka. Aspek risalah, nubuwwah dan wahyu mereka kesampingkan dan dikaburkan di hadapan aspek kejeniusan. Maka tak disangsikan lagi, anggapan seperti ini telah melahirkan bahaya besar terhadap akidah Islamiyyah, dan tidak bisa dilihat dengan sebelah mata. Sebab, kenabian, risalah, wahyu, dan seluruh sisi keimanan lainnya, merupakan landasan Islam secara menyeluruh.
Semua rincian dan penjelasan tentang keimanan kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari Akhir, dan takdir, juga rukun-rukun Islam, hukum-hukum syarit, semuanya tidak bisa diketahui melainkan hanya melalui wahyu dan risalah-Nya. Kejeniusan manusia (dalam hal ini Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak mempunyai andil dalam masalah ini.
Bahkan sebelum masa nubuwwah, beliau tidak mengetahui tentang wahyu dan risalah. Sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur`ân) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur`ân) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur`ân itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. [asy-Syurâ/42:52].
Akibatnya, dari tulisan para “cendikiawan muslim” ini, kemudian berkembang perbincangan di tengah masyarakat adanya istilah-istilah baru dari kaum Rasionalis. Misalnya, Islam dikatakan dengan istilah dînu Muhammad (agama Muhammad), syarî’atu Muhammad (syariat Muhammad), ta’alîmu Muhammad (ajaran-ajaran Muhammad), ad-Dînul-Muhammadi (agama Muhammad), al-wahyul-Muhammadi (wahyu Muhammad).
Dr. Nâshir al-’Aql mengatakan, ungkapan al-Wahyul-Muhammadi (wahyu Muhammad) bisa bermakna bahwa wahyu itu bukan dari Allah. Kata-kata lainnya juga tidak pernah termaktub dalam Al-Kitab dan as-Sunnah ataupun ungkapan-ungkapan generasi Salaf. Padahal dalam perkara syar’i yang taufiqi, haruslah mengikuti petunjuk nash syar’iyyah.
Anggapan lainnya dari kaum Rasionalis, misalnya, ketika Rasulullah mengangkat senjata untuk berperang, tidak lain sebagai pahlawan perang saja. Dan ketika memerintah Daulah Islam, status beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah sebagai pemimpin negara atau raja. Tidak ada kaitannya baik dengan agama, wahyu, maupun nubuwwah. Pendapat aneh ini dapat dilihat dalam tulisan ‘Abdur-Razzâq di kitabnya, al-Islam wa Ushul Ahkâm.
Lebih parah lagi yang dikatakan oleh Dr. Thâha Husain. Dia menyatakan, bahwa risalah Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan rangkuman dari berbagai ideologi, seperti idiologi jahili (paganisme), Persia, Nashara, Yahudi dan Yunani. Pendapat Dr. Thâha Husain, nampaknya hanya sekedar mengadopsi pemikiran para orientalis Barat dan tokoh-tokohnya. Bukan murni hasil penelitian empiris yang ia lakukan!
Kekeliruan fatal ini terbantahkan oleh Al-Qur`ân, as-Sunnah, dan Ijma` kaum Muslimin, serta fakta sejarah itu sendiri. Allah berfirman untuk membantah para pendahulu Dr. Thâha Husain yang mengatakan kalau Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan talaqqi (menerima pengajaran) dari orang lain. Firman Allah, yang artinya: Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: “Sesungguhnya Al-Qur`ân itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)”. Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘Ajam, sedang Al-Qur`ân adalah dalam bahasa Arab yang terang. [an-Nahl/16:103].
Islam adalah manhaj yang tiada duanya dalam penetapan ushul dan furu’, tentu tidak sinkron dengan apa yang ditunjukkan oleh Dr. Thâha Husain. Justru, Islam datang dengan ajaran yang sangat berbeda dengan ideologi-ideologi yang disebutkan dan sekaligus untuk mengoreksi dan menggantikannya. Bahkan unsur-unsur dari Yahudi, Persia (Majusi), Nashara, Yunani telah memunculkan kekeruhan dan perpecahan di tubuh umat Islam. Maka bagaimana mungkin pernyataan Dr. Thâha Husain bisa diterima?
PENUTUP
Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia terbaik, secara moralitasnya maupun kematangan dan kemampuan akalnya. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung -al-Qalam/68 ayat 4-, sebagaimana juga, beliau adalah manusia yang paling cerdas. Pada diri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat seluruh sifat keagungan, kemuliaan, kedermawanan, kecakapan dan seluruh sifat utama yang ada pada manusia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai imam bagi kaum muttaqin dan rahmat bagi sekalian alam. Allah Subhanahu wa Ta’ala melebihkannya di atas seluruh rasul, mewahyukan Al-Qur`ân kepadanya, sebagai sumber peraturan dan manhaj kehidupan. Tugas ilahi telah dijalankan oleh beliau dengan sebaik-baiknya, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Segala ketetapan yang beliau keluarkan merupakan aplikasi dari perintah Allah dan bukan bersumber dari kejeniusan ataupun ketinggian kedudukannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah seorang hamba, sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, yang artinya: Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku –al-Ahqâf/46 ayat 9- Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. –al-Jâtsiyah/45 ayat 18.
Tulisan ini bukan untuk mendiskreditkan tokoh-tokoh yang disebutkan di atas. Terlebih lagi sebagian dari mereka telah meninggal. Semoga Allah memberi curahan rahmat untuk mereka. Hanya saja, lantaran pemikiran-pemikiran mereka yang “kurang tepat” tersebut masih dan bahkan terus berkembang, baik langsung melalui murid-muridnya maupun melalui hasil karya mereka, maka dirasa perlu untuk mengangkat pemikiran mereka untuk diwaspadai. Semoga Allah mengampuni kita dan kaum Muslimin pada umumnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (06-07)/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Al-Mauqiful-Mu’ashirul minal-Manhajis-Salafi fil-Bilâdil-’Arabiyyah (Dirasah Naqdiyyah). Dr. Mufarrij bin Sulaimân al-Qausi, Dârul-Fadhilah, Riyadh, KSA, Cet. I, Th. 1423 H – 2002 M.
[2]. Al-Ittijahâtul-’Aqlâniyyatul-Hadîtsah, Prof. Dr. Nâshir bin ‘Abdul-Karîm al-’Aql, Dârul-Fadhilah, Cet. I, Th. 1422 H – 2001 M, hlm. 190.
[3]. Al-Ittijahâtul-’Aqlâniyyatul-Hadîtsah.. hal. 225
[4]. Majallatul-Azhar, Tahun X, Edisi 1, Th. 1358, hlm. 15, Vol. 10. Dikutip dari Al-Ittijahât, hlm. 226.
[5]. Al-Ittijahâtul-’Aqlâniyyatul-Hadîtsah, hlm. 227.
[6]. Insaniyyatu Muhammad, hlm. 9, Dikutip dari al-Ittijahâtul, hlm. 227.
[7]. Al-Ittijahâtul-’Aqlâniyyatul-Hadîtsah, hlm. 227.

Kamis, 10 Februari 2011

mood

<center><a href=”http://www.zwani.com/graphics/animated/”><img src=”http://images.zwani.com/graphics/animated/images/animated24.gif”  alt=”zwani.com myspace graphic comments” border=0></a><br><a href=”http://www.zwani.com/graphics/animated/” target=”_blank”>Myspace Animated Comments</a</center>zwani.com myspace graphic comments

keterasingan


Bintang memandang aneh ke seluruh ruangan. Ruangan yang dulu sering digumulinya dan seperti rumah sendiri mendadak asing baginya. Memang susunannya masih sama. Komputer masih pada tempatnya. Sofa pun masih pada tempatnya. Bahkan sarang laba-laba pun masih pada tempatnya. Tapi Bintang merasa asing.
Beberapa orang datang menyambutnya, bergabung dengan dirinya yang duduk di sofa sementara mereka meninggalkan kesibukan barang sejenak. Sementara yang lainnya memilih tetap sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
“Apa khabar?”, tanya salah seorang diantaranya. “Sudah lama tidak maen kesini.”. Tak pelak lagi sapaan kaku dan sekedar basa-basi yang ditangkapnya. Bintang tahu, bahwa mereka berusaha untuk tetap ramah kepadanya seperti dahulu kala. Bintang pun tahu, bahwa mereka ingin mengesankan seolah-olah tidak terjadi perubahaan apapun dalam kehidupan di ruangan ini. Masih sama seperti dahulu. Tapi sekaligus juga Bintang melihat ada keterasingan, yaitu keterasingan dirinya dengan ruangan ini.
Bintang mencoba mengolah apa yang sesungguhnya terjadi. Apakah ruangan ini yang mencoba mengasingkan dirinya atau justru penduduknya yang memang sudah menjadi asing setelah beberapa bulan tidak berinteraksi dengan dirinya. Beberapa joke mencoba dilemparkan. Dan merekapun tertawa. Tapi joke itu terkesan asing dan kuno. Dan tawa itupun hambar.
***
Sejujurnya Bintang merasa mulai terasing justru ketika ruangan itu ada. Ruangan sederhana yang disekat sebagai ruang kerja, dan ditata dengan baik lengkap dengan segala fasilitasnya. Dan kemudian orang-orang lain mulai mengenal ruangan itu sebagai tempat bekerja, dan order pun mulai datang. Order-order itu mulai membuat orang yang berada di ruangan itu menjadi sibuk bekerja. Sejak saat itulah mereka mulai mengenal yang namanya sepesifikasi, deadlineinvoicepayment dan tentu saja komplain. Sistem kerja menjadi teratur meskipun sebenarnya para penghuni ruangan itu mempunyai hak mengelola waktunya masing-masing.
Tadinya Bintang memandang pergerakan itu secara positif. Personel-personel yang biasanya bekerja bak seniman, sak karepe dhewe, mulai menjadi teratur. Penghasilan merekapun menjadi teratur. Dan yang pasti, merekapun mulai belajar tanggung jawab sebagai insan profesional.
Tapi efek selanjutnya adalah siapa yang mempunyai kemampuan, siapa yang mempunyai keahlian akan menjadi lebih eksis. Sementara yang selama ini masih menganggap itu sebuah kelompok bermain, paguyuban, akhirnya pelan-pelan mulai tersisih, mulai terpinggirkan, tidak lagi profesional dan efektif. Bahkan untuk jatuh cinta sampai efek-efeknya pun menjadi suatu kebodohan akut. Dan lebih parahnya, ketika semuanya yang menjadi pengalaman batin dan sebagai pembelajaran diri sendiri, mulai berani diungkapkan sebagai penghakiman, mulai diungkapkan sebagai sebuah kritik terhadap teman tanpa menjadi ragu itu adalah masalah yang sensitif dan melukai.
***
Bintang merasa bersalah, mengapa ada keterputusan dengan ruangan itu selama beberapa waktu. Namun realitas kesibukannya sebagai seorang buruh yang tentu saja dituntut sikap profesionalisme, mau tak mau menyita waktunya. Dan keterputusan itu adalah sesuatu yang alami.
Bintangpun tak menyalahkannya, ketika sapaannya di media sosial dianggap hambar dan hanya dianggap basa-basi. Bahkan joke-jokenya yang dulu dengan ringan menjadi derai tawa yang menyenangkan ternyata sekarang hanyalah sampah dan hanya sebagai penghibur dirinya sendiri. Bahkan lebih parahnya, sapaan yang dimaksud untuk menjalin persahabatan ternyata bertepuk sebelah tangan! Yah, mungkin Bintang sudah menjadi kuno, tertinggal dan basi di ruangan ini, sama seperti sepotong singkong yang ditawarkan kepada seseorang yang sudah mampu membeli pizzahamburger dan caramel cappucino.
“Sudah, jangan terlalu dipikirkan.”, kata Teguh yang mencoba menghibur Bintang. “Dulu mereka menerima singkong karena mereka masih bingung. Tapi sekarang mereka mungkin baru merasakan mblengersetelah makan pizza campur hamburger dan minum caramel cappucino.” (*)